Ini adalah sebuah cerita tentang sepasang suami istri yang selalu bertengkar. Selama masa pernikahan, selalu saja terjadi hal-hal yang tidak mereka sepakati. Bahkan mereka cenderung mengasah ketrampilan bertengkarnya, meskipun untuk urusan yang kecil dan remeh. Pertengkaran dan adu mulut adalah solusinya.
Mereka hidup seperti dua orang bocah. Apa saja bisa menimbulkan argumentasi dan saling menyalahkan. Saling mengintip apakah temannya memiliki coklat lebih banyak atau apakah kotak susu temannya lebih penuh isinya. “Punyamu lebih banyak daripada aku.” “Mainanmu lebih baik ketimbang punyaku.” “Yang terakhir kulihat permenmu lebih besar. Bagi dong!”
Suatu sore, sepulang dari kantornya, sang suami melewati toko buah dan melihat buah mangga yang ranum dan menarik. Karena cuma tersisa tiga buah, dibelinya semua. Setibanya dirumah, ia memberikan satu mangga pada istrinya dan menyimpan dua lainnya. Melihat hal ini, istrinya mulai naik darah. “Kenapa aku cuma dapat satu, sementara kamu dapat dua? Seharian aku menjadi pembantumu. Mestinya aku yang punya hak untuk mendapatkan tambahan mangga. Lagi pula aku curiga, jangan-jangan kamu sudah makan beberapa buah dalam perjalanan tadi.”
Sang suami tidak kalah emosinya. “Apa cuma kamu saja yang kerja keras? Aku juga sama,” semprotnya. “Malah mungkin lebih keras daripada kamu. Aku bertanggung jawab pada pelangganku, bosku dan perusahaanku. Aku tidak bisa berleha-leha dan pura-pura bekerja keras seperti kamu. Aku tidak mungkin santai-santai sambil nonton sinetron atau ngegosip dengan tetangga. Lagi pula, akulah yang membeli mangga itu. Aku punya hak mendapatkan ketiga-tiganya. Sudah untung kamu kubagi satu.”
Seperti biasanya, pertengkaran berlanjut. Adu keras suara, saling pelotot dan saling menyalahkan. Tak ada yang mau kompromi. Mungkin, bagi orang lain beberapa buah mangga tidak cukup berharga untuk ditukar dengan kesemrawutan rumah tangga dan pelampiasan emosi. Namun bagi keduanya konflik seperti itu ibarat persoalan hidup dan mati.
Sebenarnya, mereka bisa memberikan mangga yang ketiga kepada yang lain, tapi tak satupun dari mereka yang mau berkorban. Atau bisa saja mereka membagi adil mangga yang ketiga tadi sehingga dua-duanya mendapat satu setengah mangga, namun keserakahan telah membutakan hati mereka. Keduanya merasa berhak mendapatkan buah mangga ketiga tadi dan untuk itu mereka mau melakukan apa saja. Adil saja rasanya belum cukup buat mereka.
Karena sudah tidak tahan lagi terhadap perlawanan istrinya, akhirnya si suami mengajak bertaruh. “Mari kita bertaruh. Siapa diantara kita yang bisa bertahan untuk diam lebih lama, dialah yang akan mendapatkan dua buah mangga.”
Si istri setuju dan pergi ke kamar tidur, sementara suaminya tidur di sofa. Dua-duanya ingin menang sehingga mempertahankan sikap diam mereka. Satu hari lewat. Dua hari lewat. Keduanya masih membisu. Sampai beberapa hari tak satupun dari mereka yang berbicara, bahkan makan dan minum pun tidak.
Lewat sepekan tetangga mulai bertanya-tanya dan curiga, karena tidak mendengar suara samasekali dari rumah suami istri tersebut. Beberapa dari mereka akhirnya masuk dan menemukan suami istri itu tidur terlentang dengan wajah pucat pasi. Mengira keduanya sudah mati, para tetangga mulai mengatur penguburannya.
Keduanya dibaringkan dalam petimati bersebelahan. Ketika petugas kematian mulai memaku petimati si suami, ia berteriak minta tolong. “Hei, goblok, apa kamu tidak melihat kalau aku masih bernapas?” Si istri kontan melompat dari petimatinya yang memang belum ditutup. “Hore!” Ia berteriak kesenangan. “Akhirnya aku yang menang. Akulah yang berhak mendapatkan buah mangga satu lagi.”
Si istri dan suaminya berlari secepat-cepatnya menuju rumah dan saling berlomba mengalahkan untuk mendapatkan buah mangga yang jadi masalah itu.
Sesampainya di rumah, mereka menemukan buah mangga ketiga sudah tinggal bijinya karena dimakan tikus. Yang paling menyedihkan, kedua mangga milik mereka kini sudah busuk dua-duanya dan tidak dapat dimakan lagi!
Mereka hidup seperti dua orang bocah. Apa saja bisa menimbulkan argumentasi dan saling menyalahkan. Saling mengintip apakah temannya memiliki coklat lebih banyak atau apakah kotak susu temannya lebih penuh isinya. “Punyamu lebih banyak daripada aku.” “Mainanmu lebih baik ketimbang punyaku.” “Yang terakhir kulihat permenmu lebih besar. Bagi dong!”
Suatu sore, sepulang dari kantornya, sang suami melewati toko buah dan melihat buah mangga yang ranum dan menarik. Karena cuma tersisa tiga buah, dibelinya semua. Setibanya dirumah, ia memberikan satu mangga pada istrinya dan menyimpan dua lainnya. Melihat hal ini, istrinya mulai naik darah. “Kenapa aku cuma dapat satu, sementara kamu dapat dua? Seharian aku menjadi pembantumu. Mestinya aku yang punya hak untuk mendapatkan tambahan mangga. Lagi pula aku curiga, jangan-jangan kamu sudah makan beberapa buah dalam perjalanan tadi.”
Sang suami tidak kalah emosinya. “Apa cuma kamu saja yang kerja keras? Aku juga sama,” semprotnya. “Malah mungkin lebih keras daripada kamu. Aku bertanggung jawab pada pelangganku, bosku dan perusahaanku. Aku tidak bisa berleha-leha dan pura-pura bekerja keras seperti kamu. Aku tidak mungkin santai-santai sambil nonton sinetron atau ngegosip dengan tetangga. Lagi pula, akulah yang membeli mangga itu. Aku punya hak mendapatkan ketiga-tiganya. Sudah untung kamu kubagi satu.”
Seperti biasanya, pertengkaran berlanjut. Adu keras suara, saling pelotot dan saling menyalahkan. Tak ada yang mau kompromi. Mungkin, bagi orang lain beberapa buah mangga tidak cukup berharga untuk ditukar dengan kesemrawutan rumah tangga dan pelampiasan emosi. Namun bagi keduanya konflik seperti itu ibarat persoalan hidup dan mati.
Sebenarnya, mereka bisa memberikan mangga yang ketiga kepada yang lain, tapi tak satupun dari mereka yang mau berkorban. Atau bisa saja mereka membagi adil mangga yang ketiga tadi sehingga dua-duanya mendapat satu setengah mangga, namun keserakahan telah membutakan hati mereka. Keduanya merasa berhak mendapatkan buah mangga ketiga tadi dan untuk itu mereka mau melakukan apa saja. Adil saja rasanya belum cukup buat mereka.
Karena sudah tidak tahan lagi terhadap perlawanan istrinya, akhirnya si suami mengajak bertaruh. “Mari kita bertaruh. Siapa diantara kita yang bisa bertahan untuk diam lebih lama, dialah yang akan mendapatkan dua buah mangga.”
Si istri setuju dan pergi ke kamar tidur, sementara suaminya tidur di sofa. Dua-duanya ingin menang sehingga mempertahankan sikap diam mereka. Satu hari lewat. Dua hari lewat. Keduanya masih membisu. Sampai beberapa hari tak satupun dari mereka yang berbicara, bahkan makan dan minum pun tidak.
Lewat sepekan tetangga mulai bertanya-tanya dan curiga, karena tidak mendengar suara samasekali dari rumah suami istri tersebut. Beberapa dari mereka akhirnya masuk dan menemukan suami istri itu tidur terlentang dengan wajah pucat pasi. Mengira keduanya sudah mati, para tetangga mulai mengatur penguburannya.
Keduanya dibaringkan dalam petimati bersebelahan. Ketika petugas kematian mulai memaku petimati si suami, ia berteriak minta tolong. “Hei, goblok, apa kamu tidak melihat kalau aku masih bernapas?” Si istri kontan melompat dari petimatinya yang memang belum ditutup. “Hore!” Ia berteriak kesenangan. “Akhirnya aku yang menang. Akulah yang berhak mendapatkan buah mangga satu lagi.”
Si istri dan suaminya berlari secepat-cepatnya menuju rumah dan saling berlomba mengalahkan untuk mendapatkan buah mangga yang jadi masalah itu.
Sesampainya di rumah, mereka menemukan buah mangga ketiga sudah tinggal bijinya karena dimakan tikus. Yang paling menyedihkan, kedua mangga milik mereka kini sudah busuk dua-duanya dan tidak dapat dimakan lagi!
No comments:
Post a Comment