Ada seorang pakar wine (minuman beraroma anggur) mengatakan bahwa ada saatnya kita mencicipi wine yang kurang bermutu. Luangkan diri untuk menenggak wine kelas dua, ujarnya. Cicipi dan rasakan yang lebih buruk. Dengan melakukan hal ini, katanya, kita akan sungguh-sungguh merasakan perbedaannya ketika disajikan wine yang benar-benar bermutu.
Kita mungkin kerap mendengar banyak terapis menceritakan kisah “kentang gosong” yang merupakan perumpamaan buat orang-orang yang SELALU memberi diri mereka sendiri makanan kelas dua dan TIDAK PERNAH merasakan makanan yang benar-benar kualitas kelas atas. Kiasan ini mengacu pada kejadian saat koki restoran memanggang kentang terlalu lama serta membuatnya gosong dan bagian yang gosong inilah yang disimpan untuk dia makan.
Kelompok orang yang mengidap “sindroma kentang gosong” tidak pernah mengambil potongan kentang terbaik untuk diri mereka sendiri. Tidak juga membaginya pada orang lain. “Bila ada orang yang pantas memperoleh kentang gosong, akulah orang yang paling tepat,” pikir mereka.
Sindroma kentang gosong adalah analogi bagi seseorang yang selalu memperlakukan diri mereka sendiri pada posisi yang lebih rendah daripada orang lain, posisi kedua. Dari sudut pandang lain, sindroma ini juga merepresentasikan cara kita memperlakukan diri sendiri.
Meskipun tidak ada cara menenggak satu sloki wine atau mengunyah kentang yang “benar”, karena pilihan kita yang berlainanlah yang membuat kita unik dan khas sebagai individu, namun barangkali ada cara-cara yang “lebih baik” dalam menentukan pilihan. Cara yang lebih menunjukkan rasa peduli serta sayang pada diri sendiri dan pada saat yang sama tidak menyakiti atau mengambil hak milik orang lain.
Kembali pada kisah sang ahli wine yang menyarankan bahwa sekali-kali orang harus mencicipi wine kelas dua agar bisa merasakan nikmatnya wine kelas satu, akhirnya ia menyadari kekeliruannya. Ia sadar bahwa hidupnya di dunia terbatas. Ia menghitung bahwa dalam sisa hidupnya ia hanya bisa menenggak 5000 sloki wine lagi, makan 3000 potong kentang lagi dan bercinta sebanyak 2000 kali lagi. Atas pertimbangan itulah, kebiasaannya kini berubah. Katanya: “Mulai hari ini, aku berhak mendapatkan yang terbaik untuk diriku.”
Kita mungkin kerap mendengar banyak terapis menceritakan kisah “kentang gosong” yang merupakan perumpamaan buat orang-orang yang SELALU memberi diri mereka sendiri makanan kelas dua dan TIDAK PERNAH merasakan makanan yang benar-benar kualitas kelas atas. Kiasan ini mengacu pada kejadian saat koki restoran memanggang kentang terlalu lama serta membuatnya gosong dan bagian yang gosong inilah yang disimpan untuk dia makan.
Kelompok orang yang mengidap “sindroma kentang gosong” tidak pernah mengambil potongan kentang terbaik untuk diri mereka sendiri. Tidak juga membaginya pada orang lain. “Bila ada orang yang pantas memperoleh kentang gosong, akulah orang yang paling tepat,” pikir mereka.
Sindroma kentang gosong adalah analogi bagi seseorang yang selalu memperlakukan diri mereka sendiri pada posisi yang lebih rendah daripada orang lain, posisi kedua. Dari sudut pandang lain, sindroma ini juga merepresentasikan cara kita memperlakukan diri sendiri.
Meskipun tidak ada cara menenggak satu sloki wine atau mengunyah kentang yang “benar”, karena pilihan kita yang berlainanlah yang membuat kita unik dan khas sebagai individu, namun barangkali ada cara-cara yang “lebih baik” dalam menentukan pilihan. Cara yang lebih menunjukkan rasa peduli serta sayang pada diri sendiri dan pada saat yang sama tidak menyakiti atau mengambil hak milik orang lain.
Kembali pada kisah sang ahli wine yang menyarankan bahwa sekali-kali orang harus mencicipi wine kelas dua agar bisa merasakan nikmatnya wine kelas satu, akhirnya ia menyadari kekeliruannya. Ia sadar bahwa hidupnya di dunia terbatas. Ia menghitung bahwa dalam sisa hidupnya ia hanya bisa menenggak 5000 sloki wine lagi, makan 3000 potong kentang lagi dan bercinta sebanyak 2000 kali lagi. Atas pertimbangan itulah, kebiasaannya kini berubah. Katanya: “Mulai hari ini, aku berhak mendapatkan yang terbaik untuk diriku.”
No comments:
Post a Comment