Alkisah, ada seorang tukang yang sangat piawai dalam membangun rumah. Selain pandai membangun rumah bata, dia pun bisa membangun rumah kayu dengan sama baiknya. Ibaratnya, semua pekerjaan membangun rumah dialah yang menyelesaikannya, kernet hanya diperlukan untuk mengangkut bahan-bahan bangunan dan membantu ala kadarnya. Selama bekerja dengan majikannya ia adalah pekerja yang setia dan bisa dipercaya. Tidaklah heran bila majikannya sangat menyayanginya.
Namun, si tukang merasa sudah bekerja cukup lama dan merasa tua serta staminanya tidak mendukung untuk bertukang lagi. Dia ingin pensiun, menghabiskan sisa-sisa harinya bersama anak cucu dan menikmati hidup.
Mendengar permintaan ini sang majikan menjadi sedih. Meski telah berumur si tukang benar-benar masih menjadi andalan dan kepercayaannya. Dia masih yang terbaik. Selain teliti, dia juga sangat profesional. Kerapian, kehalusan serta keindahan hasil kerjanya tidak diragukan lagi selama ini. Karena sudah berbulat hati untuk pensiun, maka majikannya tidak dapat menahannya lagi. Cuma, majikannya ini meminta si tukang melakukan satu hal sebelum dia benar-benar pensiun. Permintaan terakhir.
“Tidak keberatankah engkau membangun sebuah rumah lagi?” Mulanya, si tukang menolak. Ia menuturkan bahwa ia telah kehilangan motivasi untuk membangun rumah. Semangatnya sudah luntur, karena dia sudah sangat ingin pensiun secepat mungkin. “Rumah yang terakhir ini,” kata sang majikan,”akan saya hadiahkan pada sahabat baik saya. Saya sesungguhnya ingin kamu yang mengerjakannya. Anggaplah ini sebagai permintaan pribadi dan khusus.”
Si tukang dengan perasaan setengah-setengah akhirnya mau menerima tugas itu. Sayangnya dalam membangun rumah terakhir ini, karena hatinya tidak disana, dia melakukan dengan separuh hati. Dia memilih bahan-bahan sembarangan. Kayu yang uratnya tidak mengikuti pola yang seharusnya, misalnya. Kerapihan yang dulu menjadi andalannya kini hilang. Kehalusan pekerjaan yang dulu selalu menjadi kekhasannya tidak lagi muncul. Dan kesempurnaan yang dulu dia pegang teguh sebagai komitmennya dalam bekerja sudah tidak ada lagi.
Tak lama berselang rumah itu rampung. Si tukang berdiri memandang hasil pekerjaannya. Meskipun kurang puas, dia merasa beruntung karena pada akhirnya selesai juga proyeknya yang terakhir itu. Dalam hati kecilnya dia menyesali keputusannya membangun rumah tersebut. Andai kata dia menolak sejak awal, mungkin dia tidak akan kecewa melihat hasilnya. Ini jelas bukan standar pekerjaannya yang biasanya tinggi, dan yang paling menyesakkan adalah kenyataan bahwa dia menutup karirnya dengan karya yang buruk.
Tidak lama kemudian sang majikan tiba di lokasi itu. Dia merogoh saku celananya dan mengambil kunci pintu rumah itu. Dia sodorkan kunci itu kepada si tukang sambil berkata: ”Ambil,” ujarnya, ”Ini adalah hadiah sebagai rasa terima kasih saya untuk pengabdianmu selama ini. Kini, rumah ini milikmu.”
Namun, si tukang merasa sudah bekerja cukup lama dan merasa tua serta staminanya tidak mendukung untuk bertukang lagi. Dia ingin pensiun, menghabiskan sisa-sisa harinya bersama anak cucu dan menikmati hidup.
Mendengar permintaan ini sang majikan menjadi sedih. Meski telah berumur si tukang benar-benar masih menjadi andalan dan kepercayaannya. Dia masih yang terbaik. Selain teliti, dia juga sangat profesional. Kerapian, kehalusan serta keindahan hasil kerjanya tidak diragukan lagi selama ini. Karena sudah berbulat hati untuk pensiun, maka majikannya tidak dapat menahannya lagi. Cuma, majikannya ini meminta si tukang melakukan satu hal sebelum dia benar-benar pensiun. Permintaan terakhir.
“Tidak keberatankah engkau membangun sebuah rumah lagi?” Mulanya, si tukang menolak. Ia menuturkan bahwa ia telah kehilangan motivasi untuk membangun rumah. Semangatnya sudah luntur, karena dia sudah sangat ingin pensiun secepat mungkin. “Rumah yang terakhir ini,” kata sang majikan,”akan saya hadiahkan pada sahabat baik saya. Saya sesungguhnya ingin kamu yang mengerjakannya. Anggaplah ini sebagai permintaan pribadi dan khusus.”
Si tukang dengan perasaan setengah-setengah akhirnya mau menerima tugas itu. Sayangnya dalam membangun rumah terakhir ini, karena hatinya tidak disana, dia melakukan dengan separuh hati. Dia memilih bahan-bahan sembarangan. Kayu yang uratnya tidak mengikuti pola yang seharusnya, misalnya. Kerapihan yang dulu menjadi andalannya kini hilang. Kehalusan pekerjaan yang dulu selalu menjadi kekhasannya tidak lagi muncul. Dan kesempurnaan yang dulu dia pegang teguh sebagai komitmennya dalam bekerja sudah tidak ada lagi.
Tak lama berselang rumah itu rampung. Si tukang berdiri memandang hasil pekerjaannya. Meskipun kurang puas, dia merasa beruntung karena pada akhirnya selesai juga proyeknya yang terakhir itu. Dalam hati kecilnya dia menyesali keputusannya membangun rumah tersebut. Andai kata dia menolak sejak awal, mungkin dia tidak akan kecewa melihat hasilnya. Ini jelas bukan standar pekerjaannya yang biasanya tinggi, dan yang paling menyesakkan adalah kenyataan bahwa dia menutup karirnya dengan karya yang buruk.
Tidak lama kemudian sang majikan tiba di lokasi itu. Dia merogoh saku celananya dan mengambil kunci pintu rumah itu. Dia sodorkan kunci itu kepada si tukang sambil berkata: ”Ambil,” ujarnya, ”Ini adalah hadiah sebagai rasa terima kasih saya untuk pengabdianmu selama ini. Kini, rumah ini milikmu.”
No comments:
Post a Comment